Karya Sastra Santri Nuris Juara Jatim
JEMBER – Dua santri Pondok Pesantren Nuris mampu membuktikan karya sastra santri tak kalah dengan karya lainnya.
Hal itu terbukti saat Ayu Novita Sari, siswa kelas XI IPS 1 dan Bramansyah, siswa kelas XI IPA 1 SMA Nuris Jember meraih juara satu dan tiga.
Dalam lomba cerpen se-Provinsi Jawa Timur (Jatim) di Universitas Merdeka Malang.
Bramansyah (siswa kelas XI IPA 1)meraih juara satu dan Ayu Novita Sari juara tiga. Dua santri tersebut menjadi perwakilan pesantren di Jember untuk menunjukkan karya sastra pesantren diakui di dunia.
Bahkan, tokoh pesantren yang cukup terkenal dengan karya sastranya adalah Gus Mus .
Sehingga mereka bisa menjadi generasi penerus yang akan memajukan sastra pesantren. Dua cerpen yang dibuat oleh santri itu harus bersaing dengan ratusan peserta lainnya di Jatim.
“Karya kami masuk sepuluh besar, lalu deklamasi di aula Unmer,” kata Bramansyah.
Mereka menuliskan cerita tentang realitas sosial yang terjadi, seperti pergaulan bebas. Banyak pesan yang ingin disampaikan dalam cerpen tersebut. “Menulis untuk berdakwah, salah satunya melalui karya fiksi,” tambah Ayu.
Ayu memiliki mimpi ingin menjadi penulis yang mahir sehingga bisa menjadi sastrawan pesantren, sepergi Gus Mus.
Karyanya diakui oleh dunia dan bisa menyebarkan dakwah khazanah Islam nusantara dan pesantren. “Apalagi sekarang, peminat sastra tidak banyak, sehingga perlu terus ditingkatkan,” akunya.
Sebelum penentuan juara, di babak final Ayu Novita Sari sempat berada di peringkat 1 dari 10 besar yang akan maju untuk mempresentasikan cerpennya.
Namun, akhirnya siswa cerdas ini harus cukup puas meraih juara 3, mendapat tropi, dan dana pembinaan.
“Meski agak kecewa sedikit, saya tetap bersyukur bisa membanggakan nama Nuris di Kota Malang ini. Toh yang juara 1 juga teman saya dari SMA Nuris Jember. Semoga ini mejadi langkah awal saya untuk terus mengembangkan bakat menulis saya,” tutur Ayu.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Kak Ibnu Wicaksono selaku pembina kami yang telaten, dan mampu membangkitkan semangat kami untuk menulis yang baik sehingga bisa juara seperti ini,” imbuhnya.
Tak hanya itu, pesantren juga bisa menjadi alat untuk mengkritik penguasa. Melalui karya fiksi, kebijakan pemerintah bisa dikoreksi dengan tulisan-tulisan yang satire. Sehingga fungsinya cukup beragam.
Pengasuh Ponpes Nuris Gus Robith Qosidi mengapresiasi prestasi dua santrinya tersebut. Nuris ingin memunculkan sastrawan-sastrawan baru dari pesantren. Sehingga menyediakan wadah kegiatan bagi santri yang suka menulis, yakni melalui kegiatan ekstrakurikuler.
(jr/gus/aro/das/JPR)
Sumber: www.radarjember.co.id
Bahkan, tokoh pesantren yang cukup terkenal dengan karya sastranya adalah Gus Mus .
Sehingga mereka bisa menjadi generasi penerus yang akan memajukan sastra pesantren. Dua cerpen yang dibuat oleh santri itu harus bersaing dengan ratusan peserta lainnya di Jatim.
“Karya kami masuk sepuluh besar, lalu deklamasi di aula Unmer,” kata Bramansyah.
Mereka menuliskan cerita tentang realitas sosial yang terjadi, seperti pergaulan bebas. Banyak pesan yang ingin disampaikan dalam cerpen tersebut. “Menulis untuk berdakwah, salah satunya melalui karya fiksi,” tambah Ayu.
Ayu memiliki mimpi ingin menjadi penulis yang mahir sehingga bisa menjadi sastrawan pesantren, sepergi Gus Mus.
Karyanya diakui oleh dunia dan bisa menyebarkan dakwah khazanah Islam nusantara dan pesantren. “Apalagi sekarang, peminat sastra tidak banyak, sehingga perlu terus ditingkatkan,” akunya.
Sebelum penentuan juara, di babak final Ayu Novita Sari sempat berada di peringkat 1 dari 10 besar yang akan maju untuk mempresentasikan cerpennya.
Namun, akhirnya siswa cerdas ini harus cukup puas meraih juara 3, mendapat tropi, dan dana pembinaan.
“Meski agak kecewa sedikit, saya tetap bersyukur bisa membanggakan nama Nuris di Kota Malang ini. Toh yang juara 1 juga teman saya dari SMA Nuris Jember. Semoga ini mejadi langkah awal saya untuk terus mengembangkan bakat menulis saya,” tutur Ayu.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Kak Ibnu Wicaksono selaku pembina kami yang telaten, dan mampu membangkitkan semangat kami untuk menulis yang baik sehingga bisa juara seperti ini,” imbuhnya.
Tak hanya itu, pesantren juga bisa menjadi alat untuk mengkritik penguasa. Melalui karya fiksi, kebijakan pemerintah bisa dikoreksi dengan tulisan-tulisan yang satire. Sehingga fungsinya cukup beragam.
Pengasuh Ponpes Nuris Gus Robith Qosidi mengapresiasi prestasi dua santrinya tersebut. Nuris ingin memunculkan sastrawan-sastrawan baru dari pesantren. Sehingga menyediakan wadah kegiatan bagi santri yang suka menulis, yakni melalui kegiatan ekstrakurikuler.
(jr/gus/aro/das/JPR)
Sumber: www.radarjember.co.id
Tags:
UMUM
0 komentar