Profesionalime dapat Mengubah Persepsi Publik terhadap Debt Collector
Marto Prayitno, terlihat duduk di sebuah emperan toko di kawasan traffic light Mangli, Kecamatan Kaliwates. Rabu (2/8/2017) siang itu, pria berperawakan berewok ini tengah bersama tiga lelaki yang berprofesi sebagai debt collector kendaraan bermotor. Mereka sedang mengamati kendaraan dan memeriksa setiap pelat nomor yang melintas di depan mereka.
Marto -demikian Ia disapa- merupakan debt collector kawakan. Ia telah bekerja selama 13 tahun dan tergolong senior. Warga Kecamatan Mayang ini juga sudah merasakan berbagai tantangan dalam dunia yang Ia geluti.
“Tentu kami mengapresisiasi inisiatif Polres Jember mengumpulkan para debt collector dan membekali pengetahuan tentang bagaimana menjalankan pekerjaan ini dengan tidak menerabas hukum,” katanya, menanggapi kegiatan yang digelar Polres Jember bersama Otoritas Jasa Keungan (OJK) tersebut.
Sesekali, ketiga kawan Marto melihat layar gawai yang dipegang. Jemari mereka mengetik angka pelat nomor pada gawai itu. Jika kendaraan yang dicurigai cedera janji dan sengaja tak membayar cicilan, maka akan muncul keterangan bahwa motor itu telah menunggak pembayaran kredit. Jika sudah begitu, mereka bakal mengejar dan menghentikan pengendaranya.
Pola bekerja seperti inilah yang kerap dikomplain masyarakat. Warga menilai, cara-cara menghentikan di jalan merupakan tindakan preman lantaran kerap bersitegang dengan pengendara yang dihentikan. Apalagi perawakan mereka yang terlihat sangar, kian menambah stigma preman ke para debt collector ini.
Namun, Marto berpandangan berbeda. Menurutnya, motor yang dihentikan itu bukanlah kendaraan yang telat bayar, melainkan motor yang telah berpindah tangan dari konsumen pertama ke pihak ketiga. Karena mereka tak ujug-ujug menghentikan pengendara, tetapi ada sekian mekanisme yang harus dilalui sebelum proses penyitaan kendaraan itu dilakukan.
Marto menjelaskan, cara yang dilakukan itu merupakan langkah terakhir untuk mengambil unit kendaraan. Sebelumnya mereka melakukan pendekatan dengan debitor melalui kunjungan ke rumah. Dalam kunjungan itu, debt collector tidak langsung menyita kendaraan yang telat bayar, melainkan menyarankan kepada mereka untuk melunasi tunggakan cicilan sampai bulan terakhir sesuai daftar tunggakan.
Jika cara pertama tak berhasil, maka kendaraan itu akan menjadi data lapangan. Data lapangan inilah yang menjadi rujukan debt collector menghentikan konsumen yang cedera janji tersebut.
“Ketika menghentikan di jalan pun, kami juga tak menggunakan cara-cara kekerasan. Kami harus pandai-pandai melobi mereka untuk dibawa ke kantor (leasing). Sebab kalau memakai kekerasan kita bisa bentrok,” tuturnya.
Marto tak menyoal stigma negatif yang melekat ke profesi yang Ia geluti. Sebab sejatinya, pekerjaan mereka adalah aktifitas yang legal dan telah sesuai dengan ketentuan undang-undang. Jika ada cara-cara yang menggunakan kekerasan, menurutnya itu adalah oknum. Karena instansi apapun -tak hanya profesi debt collector- juga memiliki personel yang bermasalah dalam melakoni pekerjaannya.
Perkara gagal kredit kendaraan bermotor, sebenarnya telah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini mengatur tentang siapa yang berhak melakukan penyitaan terhadap jaminan fidusia.
Pasal 29 ayat (1) beserta penjelasannya menyebutkan, tata cara eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan oleh leasing atau pihak yang ditunjuk oleh leasing selama lembaga keuangan tersebut mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia dan telah diterbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia. Dasar inilah yang menjadi pegangan para debt collector menjalakan pekerjaannya.
“Dan kami juga dipekerjakaan oleh perusahaan sekuritas yang bekerjasama dengan leasing. Jadi jika bicara legalitas, pekerjaan kami telah sesuai dengan aturan,” tutur Marto.
Meski begitu, Ia sepakat dengan upaya kepolisian dan OJK Jember dalam memberikan sertifikasi kepada debt collector. Hal itu menurutnya, untuk mendorong agar para debt collector bekerja secara professional sehingga stigma negatif yang selama ini dilekatkan bisa memudar dan mengubah persepsi publik tentang pekerjaan mereka.
Hal lain yang bakal dilakukan adalah dengan menghidupkan kembali paguyuban debt collector yang selama setahun terakhir ini vakum. Karena sebelumnya, mereka telah memiliki paguyuban yang bernama Profcoll alias Profesional Debt Collector, sehingga diharapkan dapat menjadi wadah bagi mereka untuk lebih profesional tanpa menggunakan cara-cara kekerasan dalam melakoni pekerjaannya.
Eko Prasetyo, juga sependapat dengan program sertifikasi itu. Debt collector muda ini menilai, sertifikasi ini akan membedakan mana debt collector yang professional dan tidak. Apalagi, ketika ada paguyuban maupun organisasi yang mewadahi mereka. Sehingga ketika ada persoalan hukum yang dihadapi kala bekerja, mereka bisa mendapat bantuan dari organisasi tersebut.
“Sebab tak semua konsumen menyambut baik kehadiran kami, karena pekerjaan ini memang penuh risiko,” katanya.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, di Jember ada seratusan lebih debt collector. Mereka bekerja secara berkelompok antara tiga sampai lima orang. Wilayah operasi mereka berbeda-beda, ada yang di kawasan kota dan di pinggiran kabupaten. Dalam sebulan, setiap kelompok mampu menyita antara 7-10 unit kendaraan, tergantung peruntungannya. Dan setiap unit, mereka menerima Rp1 juta sampai Rp1,5 juta yang dibayarkan oleh perusahaan yang mempekerjakan para debt collector tersebut. (*)
Sumber: http://www.penanusantara.id/main-desktop/berita_detil-1048-detil.html
Tags:
UMUM
0 komentar